TANPA BABEH LAGI
Oleh : Nancy Olivia, M.Pd
“Kemana
semua?”.
“Sudah dari
tadi bapak panggil, tetapi datang satu
persatu ….hilang satu persatu, seperti itu terus bergantian kalian muncul dan
hilang!”
“Saya mau
kalian di sini semua…! kemana semua orang…!!!”
Babeh dengan susah payah meluapkan kemarahannya kepada saya walau nyaris tak terdengar dan
disampaikan dengan rangkaian kalimat terputus-putus, intonasi tinggi namun
terasa lirih.
Semua orang
yang ada di kamar rawat rumah sakit itu tertuju pada kami. Saat itu memang
sedang jam besuk, ada cukup banyak orang di sana. Kebetulan sudah sejak sore
saya menemaninya, dan saat ini sudah pukul 8 malam. Sudah berulang kali Babeh meminta
saya memanggilkan semua anak-anak dan cucu-cucunya. "Bapak mau makan bersama",
itu alasannya.
Selama enam
bulan sejak Babeh divonis dokter menderita penurunan fungsi ginjal komplikasi
dengan penyakit gula dan jantung, hari itu adalah hari di mana Babeh terlihat
jauh lebih segar. Akan selalu saya ingat, hari Selasa tanggal 28 November 2023, Babeh jauh lebih baik kesadarannya dan jauh lebih komunikatif.
Biasanya Babeh lebih banyak tertidur atau meringis kesakitan, lebih banyak
melamun.
Untuk ketiga
kalinya Babeh minta dibantu duduk. Kali ini Babeh duduk jauh lebih lama
walaupun harus saya peluk terus, agar tubuhnya yang lemah mampu duduk tegak. Sesekali
saya mengggodanya dengan candaan. Sesekali putri kedua saya mengajukan beberapa
pertanyaan lucu, memancingnya untuk tertawa.
Ya, setiap
kali Babeh tersadar anak-anak dan cucu-cucunya belum datang berkumpul, itulah yang
kami lakukan untuk mengalihkannya agar Babeh tidak kembali marah-marah.
Beberapa
menit kemudian, adik bungsu saya bersama istrinya masuk dan menghampiri. Tak berselang
lama, Mama juga datang. Mama langsung
menyapa Babeh, menanyakan kabarnya. Alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan Mama, adik saya dan istrinya, Babeh justru langsung meminta makanan di sajikan
di atas kasurnya tepat di hadapannya dengan intonasi tinggi dan disampaikan
dengan nada geram walau tetap terdengar sangat pelan, terputus-putus dan tidak
terlalu jelas pengucapannya.
“Ayo, kita
berdoa” katanya kemudian, setelah beberapa makanan kecil dan sisa-sisa kue berhasil
dikumpulkan oleh istri adik saya dan Mama.
“Loh, kok
makanannya seperti ini, mana nasinya? Mana dagingnya? Sayurnya? Kok tidak ada
lauknya? Bagaimana sih kalian ini?” Babeh kembali membentak kami.
“Saya bilang
kan makan besar, kok seperti ini?”
“Yang lain
juga belum datang-datang! padahal sudah saya panggil sejak pagi, tapi tidak ada
yang datang sampai sekarang!”
“Ya sudah
lah, kalau memang mau kalian seperti ini. Ayo kita berdoa saja!”
Kami pun mulai
berdoa. Babeh lah yang memimpin doa bersama kami sambil tetap saya peluk, untuk membantu tubuhnya tetap kuat terduduk. Saat Babeh baru memulai doanya,
datang lah beberapa cucu dari anak pertamanya. Mereka langsung bergabung dan
ikut berdoa bersama.
Sungguh luar
biasa. Babeh berdoa dengan pelafalan yang sangat jelas, tidak terseret-seret
dan tidak terputus-putus. Doanya cukup panjang dengan kalimat-kalimat panjang.
Isi doanya adalah permohonan-permohonan yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta
untuk semua anak-anak dan cucu-cucunya. Mulai dari kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, kesejahteraan dan kebahagiaan kami semua. Babeh memohonkan penyertaan
dan perlindungan Tuhan bagi kami semua.
“Amen. Ayo
kita makan.”
Babeh langsung mengajak kami memakan semua makanan yang ada di depannya, dan sesekali
meminta saya membantunya mengambil sepotong kecil kue dan menyuapkan ke mulutnya.
Terlihat Babeh sangat berusaha keras memakannya, karena saat itu sebenarnya
Babeh sudah tidak lagi bisa mengkonsumsi makanan padat. Babeh sudah hampir sebulan
ini makan makanan cair melalui selang di hidungnya.
Babeh adalah sosok yang hangat dan penuh kasih kepada istrinya, cucu-cucunya, menantunya
juga kepada saya. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Babeh hampir tidak
pernah marah atau berbicara keras kepada kami. Babeh selalu menyampaikan apapun
dengan lembut. Babeh itu periang, humoris, sangat cerdas dan bijak sekali.
Itulah yang membuatnya sangat dicintai cucu-cucunya, terutama ketiga anak saya.
Sejak Babeh harus menjalani cuci darah secara rutin dua kali dalam seminggu. Putri kedua
saya, Abigail, hampir selalu hadir menemaninya walaupun dia juga harus tetap
bersekolah. Sebenarnya ada beberapa kali putri pertama saya juga berkesempatan
menemani Babeh cuci darah, Namun hanya saat sedang berada di Jakarta, karena
dia harus kembali ke Bali tempatnya menjalani Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Ya,
Fakultas Hukum adalah jurusan yang disarankan oleh Babeh untuk ditekuninya.
“Kakak harus
jadi hakim hebat, pokoknya kamu harus masuk fakultas hukum”. Demikian disampaikan Babeh berulang-ulang kepada putri pertama saya mulai dia lulus SMA.
Saat kondisi Babeh semakin menurun dan harus dirawat di rumah sakit, sepulang sekolah Abigail
selalu menyempatkan diri langsung ke rumah sakit menemani Mama saya dan pulang di
malam harinya. Waktu Babeh lebih banyak di rumah sakit daripada berada di
rumah. Namun, saat sedang diijinkan pulang ke rumah, Abigail selalu menginap di
hari Jumat sampai hari Minggu untuk menemani dan membantu Mama merawat Babeh.
Tanpa mengeluh, dilakukan selalu dengan hati yang senang dan itupun selalu Abigail
yang memintanya. Bukan karena disuruh siapapun tapi karena Abigail sangat
mencintai Babeh,
Satu bulan sebelumnya, saat mendampinginya menjalani perawatan cuci darah, saya sempat berbicang
dengan dokter yang merawatnya. Dokter menyampaikan kepada saya bahwa keadaan Babeh cukup baik untuk orang tua di usia hampir 87 tahun. Otot-otot geraknya masih bagus walau saat ini keadaannya mengecil tapi dengan latihan yang rutin
dan asupan makan yang sesuai dengan arahan dokter, akan bisa membesar dan
tetap dapat bergerak dengan baik. Motorik kasar dan halusnya masih sangat baik, Babeh tidak menderita tremor sama sekali. Berbicaranya masih jelas dan belum
pikun sama sekali. Ingatannya masih sangat kuat dan berkomunikasi masih
nyambung. Babeh juga tidak seperti umumnya orang lanjut usia yang selalu
bercerita berulang-ulang cerita-cerita lamanya, tetapi Babeh masih bisa diajak
berdiskusi dan menyampaikan pandangan-pandangannya tentang berbagai topik bahasan
baik agama, ekonomi, politik, budaya, sosial bahkan topik-topik bahasan tingkat
dunia.
Hubungan
saya dengan Babeh sangat intim sekali. Bahkan sampai saya dianugerahi Tuhan
tiga orang anak, saya masih sering tidur di pangkuannya, tidur di sampingnya setiap
kali saya berkunjung ke rumahnya. Apabila kami berpergian, kami selalu
berpegangan tangan dan berpelukan tanpa rasa risih dengan tatapan orang-orang
yang ada di sekitar kami.
Kami bisa
menghabiskan waktu berjam-jam bahkan seharian untuk berbincang-bincang. Mendiskusikan
banyak hal mulai dari yang ringan-ringan hingga pembahasan yang berat dan
serius. Terkadang kami berbeda pendapat dan berdebat panjang, namun tanpa pertengkaran.
Kadang kami bergantian saling meminta saran dan pandangan, untuk permasalahan
yang sedang kami hadapi di aktivitas kami masing-masing. Apabila kami tidak
dapat saling mengunjungi dan bertemu, kami berkomunikasi lewat seluler baik
melalui pesan singkat atau bertelepon langsung selama berjam-jam. Bercanda
tawa, saling meledek, saling mengganggu dan melemparkan komentar-komentar lucu,
itulah yang selalu ada di setiap kebersamaan kami.
Saya dan Babeh memiliki aktivitas kesukaan yang sama dan gaya berpikir yang sama. Kami
sama-sama suka mendengarkan musik klasik dan membaca buku. Kami sama-sama suka
menonton film bergendre action dan misteri yang mengharuskan kami
menguras energi memutar otak untuk memahami isi cerita dan makna film yang kami
tonton. Kami suka mengunjungi toko buku dan menghabiskan waktu berjam-jam di
sana. Kami lebih nyaman berlibur dengan suasana pegunungan atau pantai dari
pada berlibur ke pusat-pusat hiburan modern atau ke mall. Kami suka merenung
dan berefleksi diri bersama-sama di dalam keheningan. Makanan kesukaan kami pun
sama, sop buntut goreng, tongseng, soto Betawi, sate padang, kepala kakap, gulai
otak, dan gulai kambing.
Kedekatan kami
yang sedemikan intim, selalu saja membuat iri anak-anak saya dan mungkin juga terkadang
membuat iri mama, suami, kakak dan adik saya bahkan teman-teman saya. Saya tahu
pasti, karena sesekali secara bergantian mereka menyampaikan langsung kepada
saya dalam berbagai situasi dan kesempatan.
Suatu
malam, saya mampir ke rumah Babeh untuk melihat keadaannya. Adik laki-laki saya
mengabarkan bahwa Babeh bicaranya mulai aneh-aneh dan sering terbangun karena
bermimpi buruk. Saat saya tanyakan keadaannya, Babeh mengatakan “Saya baik-baik
saja, biasa sajalah kan sudah tua dan tidak sehat, ya seperti ini saja.”
Sebenarnya jawaban itu memang selalu sama seperti itu, setiap kali saya
menanyakan keadaannya. Saya tahu Babeh mengatakannya karena ingin saya tidak
terlalu menghawatirkannya dan agar saya belajar untuk kuat menerima keadaannya
yang semakin menurun.
“Katanya Babeh minpi, ya?” saya lanjut bertanya.
“Oh, iya…
bapak belakangan ini sering mimpi aneh dan tidak tahu apa artinya” demikian
jawabannya yang disampaikan dengan santai dan tenang.
Tumben sekali Babeh mau berterus terang seperti itu. Biasanya Babeh selalu menganggap sepele
dan enggan menceritakan hal-hal seperti ini, walaupun sebenarnya Babeh selalu
terbuka kepada saya dan pasti menceritakan apapun aktivitas dan apapun yang ada
di pikirannya.
Setelah Babeh menceritakan semua mimpi-mimpinya, sambil meremas-remas tangan saya, Babeh berkata “Kapanpun kamu merasa berada di ruang gelap yang sangat gelap, sehingga
kamu tidak mampu lagi melihat sekeliling mu, tidak bisa melihat arah di depanmu,
berdoalah. Panggil Roh Kudus, fokuslah mencari Cahaya-Nya. Karena saat kamu
memanggil Roh Kudus Tuhan untuk menolong mu, Tuhan akan memberikan Cahaya-Nya. Walaupun
kecil dan hanya setitik cahaya, pasti kamu akan dimampukan melihatnya. Ikuti
setitik cahaya itu dan berjalanlah ke arahnya, karena sesungguhnya itulah
pertolongan Tuhan yang akan membimbing kamu menuju jalan yang benar. Menuju jalan keluar dari setiap
persoalan hidupmu. Jalan keluar dari setiap situasi dan kondisi buruk yang
sedang menenggelamkanmu”.
“Ingat itu ya…
selalu ada cahaya Tuhan walau hanya setitik cahaya, kamu tidak akan pernah
sendirian”.
Tanggal
4 Oktober 2023 tepat pukul 00.02 WIB, saya
mengucapkan selamat ulang tahun pada Babeh. Saya memeluknya yang sedang
terbaring di sofa ruang tamu sambil berbisik di telinganya “Terima kasih Tuhan, Babeh bisa merayakan ulang tahun ke-87 tahun di rumah ini, bersama-sama
kami. Tuhan sungguh baik ya, Beh….”
Saya selalu
memanggilnya dengan sebutan “Babeh”, walaupun sebenarnya kami sekeluarga
bersuku Batak. Mungkin karena saya lahir dan besar di Jakarta dan mungkin karena
sejak kecil, bahasa pengantar dalam keluarga kami adalah Bahasa Indonesia berdialek Betawi.
“Terima
kasih, Beh. Sudah mau bertahan dalam sakit Babeh selama ini, untuk kita semua.
Babeh hebat, bisa sampai di usia ini tanpa pikun, tanpa lumpuh karena stroke,
tanpa keluhan-keluhan apapun sebagaimana umumnya orang-orang lanjut usia
lainnya.”
“Sembuh, ya
Beh… sehat dan panjang umur. Kami selalu butuh doa-doa Babeh untuk mengiringi
setiap langkah kami dalam menjalani hidup kami yang penuh tantangan, penuh
monster-monster kehidupan”.
Setelah itu
kami mempererat pelukan kami dan Babeh mengusap-usap kepala saya dan mencium
kepala saya lalu berkata “Iya…. Terima kasih, ya…. Tuhan sangat baik.”
Sambil tersenyum kecil di bibir mungilnya yang keriput, Babeh lanjut berkata “Menjelang tepat jam 12 malam tadi, bapak sudah terus berdoa. bapak berpikir, tidak akan bisa sampai tanggal 4 Oktober. Ternyata saat bapak buka mata dan melihat jam, sudah pukul 00.01 WIB. Bapak langsung berdoa lagi mengucap syukur pada Tuhan. Terima kasih Tuhan.”
Selasa, 5 Desember 2023. Tepat satu minggu setelah Babeh mengajak kami makan bersama dan berdoa bersama sebagaimana di awal cerita ini. Kami sekeluarga berusaha semampu kami untuk tetap fokus dengan kesehatan Babeh yang semakin menurun di tengah kesibukan kami masing-masing. Sebenarnya kami 5 bersaudara, tetapi kakak kedua telah meninggal dunia. Sekarang hanya tinggal berempat saja, kakak laki-laki dan dua adik. Kami semua sudah berkeluarga dan memiliki anak serta memiliki kesibukkan pekerjaan masing-masing.
Hari itu sepulang mengajar, saya sampai di rumah pukul 15.15 WIB. Tidak seperti biasanya, saya merasa lelah dan
ngantuk sekali. Ya, saya langsung masuk ke kamar, membaringkan tubuh yang
terasa lelah dan akhirnya tertidur lelap. Tiba-tiba, bergantian terdengar sayup
namun semakin lama semakin jelas Abigail dan suami saya membangunkan.
Terdengar mereka mengajak saya bersiap membesuk Babeh ke rumah sakit.
“Mah, ayo
bangun. Ini sudah mau jam besuk. Mau ikut besuk Bapak, kan?” demikian terdengar
suami saya berkata sambil mengoyang-goyangkan kaki saya.
Saya pun
terbangun dan kami berangkat menggunakan mobil ke rumah sakit POLRI, rumah
sakit ke tiga tempat Babeh dirawat. Sebenarnya cukup membingungkan saya juga,
kenapa Babeh di rumah sakit yang berbeda lagi. Tapi ya sudahlah, mungkin ada
alasan untuk itu. Pikir saya di perjalanan kami menuju ke rumah sakit.
Mungkin karena
baru saja bangun tidur, jadi di sepanjang perjalanan kami tidak banyak
berbicara. Saya, suami, Abigail dan adik laki-lakinya, lebih banyak diam dan asyik
dengan aktivitas di telepon selular masing-masing.
Setiba di
rumah sakit, kami langsung menuju lift. Saya lihat suami menekan tobol lantai
2. Setibanya di lantai dua, kami berjalan menuju kamar rawat Babeh. Tepat di
depan pintu masuk kamar rawat, suami saya meminta kami untuk menunggu. Sesaat
kemudian saya melihatnya datang menghampiri tetapi langsung mengajak kembali ke
lift tadi.
“Mah, Ayo
turun, ternyata kamarnya sudah dipindah ke bawah” demikian suami saya
berkata sambil menekan tombol lantai lift.
Dalam hati
saya bersyukur, karena Babeh sudah semakin membaik dan sudah dipindah ke kamar
rawat di bawah. Ya, setidaknya itulah yang ada dalam hati dan pikiran saya
seiring dengan langkah kaki menuju ruang kamar yang dituju suami saya saat itu.
Entah kenapa, sepanjang jalan setapak menuju kamar Babeh, fokus saya hanya ke
lantai, ke si bungsu, dan ke botol air mineral yang saya pegang dan sesekali
saya kocok-kocok.
“Mah, bapak
ada di sini”.
Tiba-tiba
suami saya berkata dan melenyapkan doa-doa ucapan syukur yang terus saya ucapkan
dalam hati di sepanjang jalan. Tapi saya tersentak kaget saat saya melihat
tulisan di papan yang terpaku di atas pintu ruang yang kami tuju. Sedetik
kemudian setelah saya membaca tulisan tersebut, saya sudah berada di hadapan
jenazah Babeh yang terbaring terpejam, pucat dengan tangan terlipat di atas
perutnya, dikelilingi oleh mama, dan beberapa orang lainnya yang tidak dapat
saya ingat lagi saat ini.
Ternyata, suami dan anak-anak telah mengetahui Babeh sudah meninggal sejak kami masih di rumah. Mereka tidak memberi tahu karena khawatir akan keadaan saya nantinya. Lebih baik saya tahu sendiri saat tiba di rumah sakit. Setidaknya itulah yang dikatakan suami saya setelah saya menangis dan mengamuk di depan jenazah Babeh. Setelah saya mencoba membangunkan Babeh dari tidur panjangnya saya tersadar, Babeh tidak akan pernah bangun lagi. Saya berhenti mengamuk dan berteriak-teriak dalam tangisan saya. Hanya tinggal jasadnyalah yang ada, dan saya tidak mau lagi melihat jazad kosong tanpa nyawa dan roh itu. Ya, saya tidak mau lagi melihatnya sampai jazad kosong itu dimakamkan.
Kehancuran hati masih saya rasakan hingga saat ini. Ya, sudah hampir 6 bulan
berlalu sejak kepergian Babeh. Dunia saya seakan hilang, kehidupan seolah terhenti
sejak Babeh meninggalkan saya untuk selamanya. Setiap hari dalam hidup saya, hanya
saya habiskan untuk berusaha menerima kenyataan bahwa Babeh sudah tidak ada bersama
saya lagi. Saya habiskan setiap harinya dengan menahan kepedihan dan kehancuran
di hati, ditemani sehelai saputangan Babeh yang sampai saat ini selalu
saya ikatkan di pergelangan tangan saya. Cinta pertama saya telah pergi meninggalkan
saya.
Entah sampai kapan saya akan seperti ini, Entah kapan akhirnya saya bisa sanggup mengunjungi rumah Babeh lagi dan menemani Mama yang juga ditinggal sendiri oleh Babeh di rumah itu. Entah kapan akhirnya saya sanggup mengunjungi makamnya. Entah sampai kapan saya menganggap Babeh masih hidup, saat ini sedang duduk di meja kerjanya membaca buku di rumahnya. Entah sampai kapan kemarahan dan kesedihan mendalam yang saya rasakan ini akan hilang.
Entah sampai
kapan….
Semoga akan
saya temukan setitik cahaya itu. Setitik cahaya seperti yang pernah Babeh katakan
beberapa bulan lalu saat Babeh masih ada di samping saya.
Setitik Cahaya
Tuhan yang akan membawa saya keluar dari kehancuran ini, menuntun saya ke jalan
menuju dunia baru yang penuh kebahagian. Dengan gagah berani mengarungi hidup dan
menghadapi monster-monster di kehidupan ini yang silih berganti muncul, walau
tanpa Babeh lagi…..
Nangis saya bacanya,luar biasa bu.... semangat dan selalu berdoa buat babeh ya
BalasHapusTerima kasih....
HapusWah, jadi terharu saya Bu😥
BalasHapusTerima kasih untuk atensinya, Pak...
HapusKereeen tulisannya sangat menyentuh jadi terharu
BalasHapusTerima kasih, Ibu...
HapusLuar biasa lengkap lengkip panjang lebar
BalasHapusTerima kasih ibu.. hehehe...
HapusCeritanya sangat bagus, membuat pipi ini tak terasa menetes mengingat kepergian ayah. Yang sabar ya Bu. Kita doakan semoga ayah dapat tempat terbaik di sisi-Nya. Ikhlas ya buuuu
BalasHapusAmen.... Terima kasih, ibu Mentor ku.....
Hapus